Kami berjalan dari wisma Pojok Kaliurang sampai shelter tranjogja Condongcatur dalam hening. Di dekat shelter, aku memungut sekuntum bunga kamboja putih yang jatuh di tanah.
Shelter Condongcatur penuh, masih banyak teman-teman Magis yang menunggu bus. Ketika kelompok kami masuk dan turut bergabung, masih ada 2 kelompok. Mereka hendak bertolak ke Wonogiri dan Gunung Kidul.
Dari pengeras suara terdengar radio mengalunkan suara merdu Andien, Gemilang. Sambil menunggu bus transjogja no 3B jurusan Meguwo datang, aku membaca buku Ziarah karya Paulo Coelho. Aku baru sampai pada bab Pewarta. Sempat tersendat lama karena aku belum merasakan getaran buku ini. Tak berapa lama bus datang, kami turut di dalamnya.
Ketika turun di shelter Meguwo langsung ada bus Jogja-Solo. Harganya Rp. 7.000 sampai ke terminal Penggung, Tica yang menyimpan uang saku kami. Di sekitar Gondang, ada seorang pengamen naik dengan tato unik, titik air di bawah kelopak matanya. Ia berpenampilan punk dilengkapi kalung salib.
Lagu pertama yang ia mainkan adalah Wakil Rakyat. Aku lupa judul lagu kedua tapi juga dari Iwan Fals. Lagu ketiga membuatku kaget, ia menyanyikan lagu Ebiet G Ade, Kalian Dengarkan Keluhanku, salah satu lagu favoritku. Aku pun ikut bersenandung sambil membayangkan perjalanan yang akan kami tempuh.
“Aku suka lagu-lagu pengamen ini tapi tidak punya uang,” keluhku pada Tica. Memang kami harus berhemat karena uang bekal kami terbatas. Puji Tuhan, sebelum turun ibu di sampingku menitipkan uang Rp. 2.000 untuk diberikan kepada pengamen.
–
Sub terminal Penggung tidaklah besar, hanya ada tiga bus menunggu penumpang. Salah satu busnya menuju Cawas, kami segera naik. “Kita duduk di dekat supir saja supaya bisa bertanya,” usul Meta. Bus pun berangkat walaupun masih lengang.
Jam 11 siang, kami turun di pertigaan Cawas. Jalan membentang ke timur, dari sinilah kami mulai berjalan kaki. Kami ingin berdoa terlebih dahulu, sambil terus berjalan kami mencari tempat yang cocok. Hingga tibalah pada sebuah masjid.
Memasuki pelataran masjid, arsitekturnya mengingatkanku pada gereja Ganjuran. Pendopo terbuka sehingga memudahkan umat untuk keluar-masuk. Aku percaya setiap bangunan mempunyai tujuan khusus ketika dibangun. Seperti halnya rumah yang mencerminkan hati pemiliknya.
Aku berjalan bersama Meta dan Tica, aku satu-satunya lelaki dalam kelompok. Aku merasa perbedaan gender bukan alasan mereka membutuhkan perlakuan khusus. Tapi aku tetap mempertimbangkan di mana kami akan berhenti karena perempuan tidak bisa ke belakang di sembarang tempat.
Kami menyempatkan duduk di pelataran, terhibur oleh banyaknya burung gereja di halaman. Kemudian datang pengurus masjid, beliau mulai membersihkan lantai. Karena merasa tidak enak hati, kami pun ngurungkan niat untuk berdoa di sini. Di samping masjid tampak tenda angkringan, kami pun beralih ke sana.