Peregrinasi (3): Bus

Kami berjalan dari wisma Pojok Kaliurang sampai shelter tranjogja Condongcatur dalam hening. Di dekat shelter, aku memungut sekuntum bunga kamboja putih yang jatuh di tanah.

Shelter Condongcatur penuh, masih banyak teman-teman Magis yang menunggu bus. Ketika kelompok kami masuk dan turut bergabung, masih ada 2 kelompok. Mereka hendak bertolak ke Wonogiri dan Gunung Kidul.

Dari pengeras suara terdengar radio mengalunkan suara merdu Andien, Gemilang. Sambil menunggu bus transjogja no 3B jurusan Meguwo datang, aku membaca buku Ziarah karya Paulo Coelho. Aku baru sampai pada bab Pewarta. Sempat tersendat lama karena aku belum merasakan getaran buku ini. Tak berapa lama bus datang, kami turut di dalamnya.

Ketika turun di shelter Meguwo langsung ada bus Jogja-Solo. Harganya Rp. 7.000 sampai ke terminal Penggung, Tica yang menyimpan uang saku kami. Di sekitar Gondang, ada seorang pengamen naik dengan tato unik, titik air di bawah kelopak matanya. Ia berpenampilan punk dilengkapi kalung salib.

Lagu pertama yang ia mainkan adalah Wakil Rakyat. Aku lupa judul lagu kedua tapi juga dari Iwan Fals. Lagu ketiga membuatku kaget, ia menyanyikan lagu Ebiet G Ade, Kalian Dengarkan Keluhanku, salah satu lagu favoritku. Aku pun ikut bersenandung sambil membayangkan perjalanan yang akan kami tempuh.

“Aku suka lagu-lagu pengamen ini tapi tidak punya uang,” keluhku pada Tica. Memang kami harus berhemat karena uang bekal kami terbatas. Puji Tuhan, sebelum turun ibu di sampingku menitipkan uang Rp. 2.000 untuk diberikan kepada pengamen.

Sub terminal Penggung tidaklah besar, hanya ada tiga bus menunggu penumpang. Salah satu busnya menuju Cawas, kami segera naik. “Kita duduk di dekat supir saja supaya bisa bertanya,” usul Meta. Bus pun berangkat walaupun masih lengang.

Jam 11 siang, kami turun di pertigaan Cawas. Jalan membentang ke timur, dari sinilah kami mulai berjalan kaki. Kami ingin berdoa terlebih dahulu, sambil terus berjalan kami mencari tempat yang cocok. Hingga tibalah pada sebuah masjid.

Memasuki pelataran masjid, arsitekturnya mengingatkanku pada gereja Ganjuran. Pendopo terbuka sehingga memudahkan umat untuk keluar-masuk. Aku percaya setiap bangunan mempunyai tujuan khusus ketika dibangun. Seperti halnya rumah yang mencerminkan hati pemiliknya.

Aku berjalan bersama Meta dan Tica, aku satu-satunya lelaki dalam kelompok. Aku merasa perbedaan gender bukan alasan mereka membutuhkan perlakuan khusus. Tapi aku tetap mempertimbangkan di mana kami akan berhenti karena perempuan tidak bisa ke belakang di sembarang tempat.

Kami menyempatkan duduk di pelataran, terhibur oleh banyaknya burung gereja di halaman. Kemudian datang pengurus masjid, beliau mulai membersihkan lantai. Karena merasa tidak enak hati, kami pun ngurungkan niat untuk berdoa di sini. Di samping masjid tampak tenda angkringan, kami pun beralih ke sana.

Peregrinasi (2): Godspeed

Terima kasih Tuhan untuk istirahat semalam. Aku merasa gatal karena alergi dingin tapi akhirnya bisa tidur nyenyak. Bangun pagi, mandi, dan sekarang menulis refleksi dalam kapelMu.

Kemarin sore jam 3, para peserta peregrinasi Magis ’12 mulai berdatangan di Wisma Pojok Kaliurang. Persiapan dan pembagian kelompok, aku kelompok 9 bersama Meta dan Tica.

Apa itu peregrinasi? Ziarah batin yang mengutamakan gerak batin bukan hanya mengunjungi tempat tertentu. Sampai sekarang aku belum tahu ke mana tujuan kami.

Aku penasaran 70 km berjalan kaki selama 3 hari 2 malam, tanpa alat komunikasi dan uang saku yang minim. Bagaimana kami mencari makan dan tempat menginap? Semua aku serahkan kepadamu Tuhan. Godspeed, in God’s spirit!

Hari I

Rahmat yang dimohon:

“Anugrahilah aku ya Tuhan kemampuan dan keberanian untuk keluar dari  zona nyaman, untuk meninggalkan apa yang kumiliki dan ketahui, untuk belajar dari hal-hal baru, yang mungkin berbeda serta mengejutkan.”

Pagi hari jam 7.30, semua sudah berkumpul di halaman. Sedangkan aku masih terkunci dalam kamar mandi. “Kumpul dengan kelompok masing-masing!” terdengar arahan dari Ara. Ketika aku berjalan mendekat, tampak Meta dan Tica mencari-cari aku.

Setiap kelompok bergiliran memperagakan motto kelompok. Aku berpose seperti Pahlawan Bertopeng ketika berseru Godspeed. Kemudian Meta dan Tica merapatkan tangan membentuk gestur yes. Kami bersama-sama berteriak In God’s spirit. Yang menurutku paling lucu adalah motto kelompok lain, “Yesus… cappuccino buatanmu, numero uno.”

Kami dibekali 3 amplop berisi rute peregrinasi, uang saku, dan surat pengantar bila berada dalam keadaan darurat. Aku tak kuasa untuk bersujud ketika para Magis dari semua angkatan ’08-’11, menumpangkan tangan mereka kepada kami yang hendak berangkat berziarah.

Setelah pelepasan, semua kelompok berangkat bersamaan kecuali kelompokku. Kami ingin mempelajari rute peziarahan kami terlebih dahulu. Aku mengusulkan agar semuanya menyalin rute peregrinasi dalam buku catatan masing-masing. Tujuan kami adalah Gua Maria Sendang Pawitra Sinar Surya, Tawangmangu.

Kisah Tiga Janda

Kepada Meta dan Tica

Berkah Dalem,

Bagaimana kabar kalian? Masih ingat peregrinasi kita? Perjalanan yang membentang dari Cawas sampai ke Tawangmangu. Tujuan kita adalah Gua Maria Sendang Pawitra. Kita tempuh dengan berjalan kaki selama tiga hari, melalui jalan-jalan berliku dan bertemu orang-orang yang telah berbaik hati kepada kita.

Menulis tentang peregrinasi tidak akan pernah habis. Banyak pengalaman yang berkesan. Aku mencoba mengenang kembali orang-orang baik hati itu, yang telah membukakan pintu rumah kepada kita.

Cawas

Masih ingatkah ketika kita pertama kali meminta makan?  Kita sampai di Cawas jam 11 siang, setelah berjalan hampir 2 jam, perut terasa lapar. Tica yang pertama mengetuk pintu, ada ibu yang memperbolehkan kita masuk ke rumahnya. Kita mencoba meminta makan siang sambil menahan malu. Ibu itu hampir menolak karena tidak memasak. Kita merajuk meminta seadanya.

Ibu itu pun luluh, mempersilakan kita masuk. Menawarkan nasi yang masih ada di magic jar. Hanya ada sayur tolo (kacang tunggak) dan rempeyek teri. Kacang tolo sayur kesukaan Bapakku tapi karena aku tidak suka sayur bersantan ketika aku kecil, aku selalu menolak untuk makan sayur ini. Sekarang hanya ini yang tersedia, aku seperti disapa. Ada Bapak yang selalu menyertai aku.

Selagi kita makan, ibu itu bercerita dia jarang masak, cukup membeli lauk karena dia hanya tinggal sendiri. Suaminya meninggal 5 bulan yang lalu sedangkan anak-anaknya sudah selesai kuliah, bekerja di kota besar, berkeluarga dan tinggal. Aku melihat foto berfigura bapak dan ibu yang mulai berjelaga, lemari hias yang ditempeli beberapa stiker universitas.

Karangasem

Sore hari, kita harus mencari rumah untuk menginap. Meta, kamu memilih rumah tak berpagar dengan tanaman hias di depannya. Ada ibu yang tidak keberatan kita bermalam. Kita dijamu mangga sepuasnya. Kita menumpang mandi di masjid tidak jauh dari rumah ibu. Malamnya kita makan sate dengan nikmat, kita diperbolehkan bermalam di ruang tamu.

Ditanya mau ke mana? Tawangmangu. Tidak untuk mencari ilmu kan? Tawangmangu terkenal untuk mencari pesugihan. Kita beralasan ingin memohon kelancaran studi. Ibu itu menceritakan bagaimana perjuangannya 19 tahun ditinggalkan suami. Berjuang dengan menjual jamu di pasar untuk menghidupi keluarga. Semua diserahkan kepada Allah. Sekarang ada Alita, cucu kesayangan yang sedang diajari membaca Alquran. Ibu itu berpesan, “Jangan mencari jalan pintas. Serahkan semua kepada yang Maha Kuasa, ikhlas”.

Jatirejo

Kejadian yang paling lekat dalam ingatanku, ketika sore kedua kita harus mencari rumah untuk menginap. Kali ini aku yang bertugas mencari rumah. Aku melihat ada anjing di depan rumah yang berdiri dengan jarak berdekatan. Keluarga besar terdiri dari 4 keluarga. Kita diterima dengan tangan terbuka, disiapkan makan malam, dan tempat bermalam.

Paginya sebelum menyiapkan sarapan, ibu itu bercerita dulu beliau berjualan buah di Pasar Senen-Jakarta, jauh dari suami dan anak-anaknya. Setelah bapak mulai pensiun, ibu pulang ke rumah tapi tidak begitu lama bapak meninggal. Sekarang ibu itu hidup bersama anak-anak dan cucunya di hari tua.

Tidak terasa 9 tahun pengalaman itu berlalu, sekarang aku tidak bisa lagi mengingat wajah para Ibu itu. Kita sekarang sudah berjauhan juga dalam masa pandemi tapi semoga pengalaman peregrinasi selalu meneguhkan kita. Di luar sana penuh kebaikan hati manusia, apakah kita berani mengetuk pintu dan bertanya?